Selasa, 10 Juni 2008

PENGELOLAAN SEKOLAH DASAR


ABSRAK

Pengelolaan sekolah dasar (SD) di daerah melibatkan dua jaJaran instansi, yaitu Dinas P & K dan Kanwil Depdikbud beserta instansi bawahan masing-masing. Dinas berfungsi mengatur urusan kepegawaian, keuangan dan sarana prasarana; dan Kanwil mengatur urusan kurikulum atau teknis edukatif. Dengan pembagian fungsi semacam itu maka kegiatan koordinasi antar kedua jajaran instansi tadi menjadi kebutuhan mutlak, sebab ketiadaan koordinasi dapat menimbulkan masalah, seperti: saling berebut wewenang, perasaan saling lepas, atau terjadi program-program yang tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain; yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengelola pada tingkat sekolah. Berdasarkan hal itulah, penulis tertarik untuk meneliti pelaksanaan kegiatan koordinasi antar instansi tersebut beserta implikasinya dalam penyelenggaraan sekolah.

Untuk memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi di Kodya Dati II Yogyakarta. Untuk itu sample yang dijadikan nara sumber adalah : (1) Kepala Dinas P dan K DIY, (2) Kepala Cabang Dinas Kodya Yogyakarta, (3) Koordinator Ranting di tiga wilayah, (4) Kepala/Kasi Dikdas Kanwil Depdikbud, (5) Kepala dan Kasi Dikdas Kandepdikbud Kotamadya, (6) Penilik TK/SD di empat wilayah/kecamatan, dan (7) Kepala Sekolah dan Guru-guru SD masing-masing lima orang.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi; yang orientasi dan eksplorasinya berlangsung dari bulan Maret sampai Oktober 1992. Alat pengumpul datanya, sebagaimana umumnya dalam penelitian kualitatif, adalah peneliti sendiri (human instrument) dengan alat bantu seperti buku catatan, tape recorder dan kamera foto. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan mengikuti prosedur: (a) reduksi data, (b) display data, dan (c) pengambilan kesimpulan dan verifikasi.

Dari analisis tersebut ditemukan bahwa obyek kegiatan koordinasi antar kedua jajaran instansi tadi hanya meliputi sebagian kecil dari aspek-aspek pengelolaan: (1) kelembagaan, (2) kemuridan, (3) kurikulum dan (4) personil. Aspek-aspek pengaturan sarana prasarana, keuangan dan hubungan sekolah dengan masyarakat belum dikoordinasikan sebagaimana mestinya. Kedua jajaran instansi tadi juga lebih mengutamakan koordinasi intern (vertikal,) dalam jajaran instansinya. Pelaksanaan koordinasi ekstern (horisontal) tergantung pada kebutuhan tidak diprogram secara mantap dengan mengikuti tahap-tahap perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi hasil-hasilnya. Hal ini dapat diartikan bahwa koordinasi antar instansi pengelola SD tersebut belum menyeluruh atau belum komprehensif, kurang sistematik dan tidak kontinyu.

Adapun cara-cara yang digunakan, mencakup antara lain: (1) saling mengundang rapat kerja, (2) saling memberikan informasi pada rapat koordinasi daerah, (3) pembuatan surat edaran bersama dan surat pemberitahuan, (4) pembentukan panitia, (5) peninjauan lapangan, dan (6) konsultasi maupun pembicaraan secara informal. Pada umumnya untuk jenjang instansi atas lebih banyak menggunakan cara-cara formal, sedangkan pada jenjang instansi bawah lebih banyak menggunakan cara informal.

Cara-cara yang bervariatif itu, baik resmi maupun tidak resmi, dapat mempererat hubungan kerjasama dan koordinasi antar kedua jajaran instansi tadi relatif berjalan lancar. Namun demikian sesungguhnya koordinasi tersebut masih menghadapi beberapa masalah seperti: (a) ada instansi yang melakukan pekerjaan yang bukan menjadi wewenangnya, (b) program-program ganda, terutama yang berkenaan dengan guru dan alat pendidikan, (c) program-program yang bersamaan waktu, (d) ada wewenang yang masih dirasakan kabur, seperti tenta-ng urusan siswa, atau (e) terjadi saling tidak mengetahui program kerja pihak lain, yang menunjukkan semacam perasaan saling lepas satu sama lain. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa koordinasi antar kedua jaiaran instansi tadi belum sepenuhnya efektif.

Implikasi dari kegiatan koordinasi yang belum menyeluruh (komprehensif), kurang sistematik, tidak kontinyu, dan belum sepenuhnya efektif tadi adalah: bagi kepala sekolah fungsinya lebih banyak sebagai administrator daripada sebagai pemimpin yang membawa inovasi-inovasi, dan merasakan konflik peran (role conflict) dan kekaburan peran (role ambiguity); adapun bagi guru beban kerja administratifnya dirasakan cukup berat, yang sedikit banyak dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas.

Selanjutnya dapat diidentifikasikan bahwa factor-faktor yang diduga sebagai penghambat maupun pendukung kelancaran pelaksanaan koordinasi adalah: (a) orientasi penyusunan program, (b) gaya kepemimpinan, (c) tingkat hubungan interpersonal antar pejabat, (d) kondisi tempat kerja, dan (e) kelengkapan struktur organisasi.

Berdasarkan hal itu maka untuk kedua jajaran instansi tadi disarankan: (1) memberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab yang lebih besar kepada instansi tingkat kotamadya atau kecamatan untuk menyusun program sendiri, dengan orientasi kepada sasaran (SD) bukan pada unit-unit kerja; (2) kegiatan koordinasi diprogram secara sistematik dan menyatu dari tahap perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi hasilnya; (3) melakukan pendefinisian kembali wewenang yang kabur, terutama masalah personil, siswa dan sarana prasarana, dan (4) mempersiapkan secara matang, guru-guru yang akan diangkat menjadi kepala sekolah. Selain itu, bagi peneliti lain disarankan mengadakan penelitian untuk menguji atau mengetahui besar sumbangan faktor-faktor yang diidentifikasi sebagai penghambat atau pendukung kelancaran koordinasi di atas.
Full Text
Filename
Size
Perkiraan Waktu Download (Jam:Menit:Detik)
28.8 Modem
56K Modem
ISDN (64 Kb)
ISDN (128 Kb)
Higher-speed Access
Data tidak ditemukan.
Lihat Semua Koleksi Pasca Berdasarkan ( Penulis Jurusan )
Link Navigasi Anda ada di Atas.
Jika ada pertanyaan silahkan hubungi wandaramdan@gmail.com atau cukil_n@telkom.net

Tidak ada komentar: